Minggu, 01 Juli 2012

0 LOGIKA AL-QURAN

Imam Al-Ashmu’I pernah bercerita, “Suatu hari aku pernah berjalan-jalan ke sebuah perkampungan Badui. Ketika aku melewati lorong-lorong rumah yang kumuh, aku melihat ada seorang gadis kecil manis sedang memainkan tanah dengan jari jemarinya.

Aku sapa dia, “Assalamuaalaikum, siapa namamu?” Belum sempat menjawab, tiba-tiba ibunya datang dari arah belakangku. Alangkah terkejutnya aku, ternyata ia seorang ibu muda yang berparas sangat cantik.

Tapi aku semakin terkejut lagi, ketika dari arah kejauhan kulihat wajah suaminya sangat buruk. Kuberanikan diri untuk menyapanya, “Apakah dia suamimu?” tanyaku agak heran.

“Ya, dia adalah suamiku yang sangat kucintai.”

“Kenapa engkau yang berparas sangat cantik ini mau dengan dia yang berparas sangat buruk?”

Si wanita cantik itu menjawab dengan tegas, “Dengarlah wahai Imam, sepertinya suamiku yang bermuka buruk itu adalah orang yang sangat baik di sisi Allah SWT, sehingga Allah menjadikan diriku sebagai pahala untuknya. Dan sepertinya aku adalah manusia yang kurang baik disisi Allah SWT, sehingga Allah menjadikan dia sebagai hukuman bagiku.”

Aku takjub dibuatnya. Ternyata di pedalaman Badui ini masih banyak orang yang berhati tulus seperti dia.

Sikap wanita cantik ini sangat ideal. Dia selalu bersikap positive thinking. Segala sesuatunya diukur dengan husnudzan (baik sangka) kepada Allah SWT. Dia tidak pernah mengeluh menhadapi kesulitan dan keburukan. Tidak pernah ada kata frustasi.

Dia yakin Allah SWT sangat sayang kepada hambaNya. Allah SWT sangat adil. Dia mengukur permasalahan dengan logika Alquran. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi itu lebih baik bagi kamu, dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu tapi ia (sebenarnya) buruk bagi kamu. Dan Allah SWT Maha mengetahui dan kamu tidak mengetahui. (QS Al Baqarah: 216).

Hidup di dunia bagaikan permainan dan senda gurau (QS Al Hadid:20). Wanita cantik ini tidak mau dipermainkan oleh ego jiwanya. Keindahan dunia itu sekejap, dan dia tidak mau terlena olehnya, apalagi sampai menjauh dari Allah SWT lantaran dunia.

Dia sangat bersyukur mendapat suami yang sangat baik dan taat kepada Allah SWT, meski logika manusia mengatakan dia buruk rupa. Ia selalu menghiasi hidupnya dengan baju qanaah, tawadlu, dan ikhlas menghadapi ujian dunia.

“Tidaklah musibah yang kalian dapatkan itu kecuali memang hasil dari tangan-tanganmu.” (QS As Syura:30). Karena itu dia memilih menyalahkan diri sendiri ketimbang menyalahkan orang lain. Sikap ini selalu mengontrol dirinya dari keangkuhan dan selalu menyalahkan.

Alangkah indahnya bila hidup ini sarat dengan logika Alquran seperti itu, apalagi di zaman sekarang yang penuh dengan masalah, musibah dan senda gurau lainnya.

(repost from: Fahmi Zubir)
NEXT - LOGIKA AL-QURAN

0 KISAH SEDEKAH TUKANG TAMBAL BAN



Seorang Tukang tambal ban. Lima tahun yang lalu seringkali terkena obrakan, sebab lapaknya atau tempatnya berada di tepi jalan. Suatu ketika, di pagi hari, ada seorang temannya yang mampir ke tempatnya.

Ketika mereka asyik berbicara, tiba-tiba seorang pengemis berdiri meminta. Si Tukang tambal ban merasa terganggu dengan kehadiran pengemis tersebut. Dia menolaknya dan pengemis itupun berlalu. Demikian berturut-turut hingga ada beberapa pengemis yang selalu ditolaknya.

Kawannya bertanya. “Di sini banyak pengemis yang datang ya?”
“Wah, kalau dituruti, sehari bisa puluhan orang. Saya selalu menolak mereka. Buat apa mengajari orang malas.” Kata si Tukang tambal itu.

Kawannya diam sejenak. Lalu berbicara, “Kalau boleh menyatakan, sebaiknya jika ada pengemis jangan ditolak. Meskipun seratus perak. Berikanlah kepadanya!”

Si tukang tambal ban tersenyum kecut dan menanggapi dengan sikap dingin. “Pengemis sekarang bukanlah orang yang benar-benar miskin. Di daerahnya, mereka memiliki rumah besar, ternak banyak dan sawah luas. Mengemis dibuat sebagai mata pencaharian. Jika menuruti pengemis, bisa bangkrut aku.

Sedangkan sejak pagi tak satupun kendaraan yang berhenti untuk mengisi angin ataupun minta ditambal.”

Temannya berusaha menasehati dengan bijak, “Berpikir begitu boleh-boleh saja. Tetapi, saya tetap yakin bersedekah itu lebih bermanfaat dan menguntungkan diri sendiri. Aku menggemarkan diri bersedekah sudah beberapa tahun lalu.”

“Kamu berbicara begitu karena memang sudah pantas melakukan sedekah, sebab penghasilanmu besar, punya mobil dan rumah bagus. Sedangkan diriku!? hanyalah seorang tukang tambal ban, tidak lebih dan tidak kurang!”

“Aku dulu juga seperti dirimu. Kau tahu kan? Kehidupanku compang-camping. Sekarang makan, besok harus hutang ke tetangga. Tetapi, aku tidak pernah berhenti bersedekah. Maaf, ini bukan pamer ataupun membatidakan diri, tetapi maksudku berbagi pengalaman denganmu. Setiap ke masjid, aku selalu memasukan uang meskipun hanya recehan.

Setiap ada pengemis datang selalu kuberi jika memang masih ada uang, tetapi kalau lagi tidak ada, air minum saja juga sudah sangat senang. Itu kulakukan secara istiqomah, Dan sungguh, aku mengalami sebuah kejadian luar biasa.

Rezek sangat lancar, setiap ada rencana selalu berhasil, setiap transaksi selalu sukses, apa saja yang kulakukan selalu membawa berkah hingga kamu lihat sendiri seperti sekarang ini.” kata temannya itu menambahkan.

Si tukang tambal ban tidak segera menjawab. Dia tampaknya sedang berpikir. Temannya lalu berkata lagi, “Memberi sedekah tidak harus kepada pengemis, kamu bisa mengulurkan tanganmu kepada sanak saudara atau siapa saja, asalkan ikhlas.”

“Benar, dan sedekah yang lebih tinggi harganya ialah ketika dirimu dalam keadaan sempit. Jangan menunggu kaya baru bersedekah. Saat sekarang ini kamu harus memulainya.” begitu temannya dengan sangat bijak dan mengena memberikan saran.

Si tukang tambal ban mulai bisa menangkap makna memberi, dari kata-kata temannya tadi terutama kondisi dulu yang menyatakan kalau dirinya juga berawal dari orang yang tidak punya karena tidak punya pekerjaan tetap. Maka, dia pantas dipercaya karena keadaanya memang sudah mapan dibandingkan dengan dirinya.

Keesokan harinya si Tukang tambal ban mulai menyediakan uang recehan. Selama uang recehan masih ada, ia tidak pernah menolak pengemis yang datang. Kecuali, jika sudah habis jatahnya baru ia menolaknya, bahkan setiap pergi ke masjid dia tidak pernah melupakan sedekah ke kotak infaq.

Semenjak itu rezekinya lancar. Setiap hari sejak pagi hingga petang sambung menyambung motor yang berhenti minta ditambalkan ataupun sekedar mengisi angin. Bahkan dua keponakannya yang menganggur diajaknya membantu pekerjaan itu.

Sekarang si Tukang tambal ban telah memiliki tabungan. Dari tabungannya dia mampu menyewa tempat dan membangunnya, meskipun tidak permanen. Sehingga dia kini bisa bekerja dengan tenang karena tidak harus dikejar-kejar polisi pamong praja.

Seiring waktu, si Tukang tambal ban tidak hanya melayani jasa menambal atau mengisi angin. Tetapi, berkembang menjadi sebuah usaha ban kanisir. Bahkan, dia mempunyai puluhan pelanggan perusahaan jasa angkutan. Kalau dulu dia menerima uang recehan dari pelanggannya. Sekarang dia menerima cek dari perusahaan sebagai pembayaran ban kanisir. Anak buahnya semakin bertambah.

Keadaan hidup si tukang tambal ban telah mapan. Dia bisa membeli rumah dan mobil. Setiap tahun zakat malnya dibagikan di kampung halamannya untuk orang-orang miskin dan yatim piatu. Bahkan dia telah berangkat haji bersama istrinya.

Si Tukang tambal ban berhasil membuka tabir misteri keajaiban sedekah. Sekarang dia benar-benar percaya bahwa sedekah itu sangat memberikan manfaat yang luar biasa seperti saran temannya dulu yang diawalnya dia tanggapi dengan sikap dingin. SubhanAllah.
NEXT - KISAH SEDEKAH TUKANG TAMBAL BAN

Minggu, 01 Juli 2012

LOGIKA AL-QURAN

Imam Al-Ashmu’I pernah bercerita, “Suatu hari aku pernah berjalan-jalan ke sebuah perkampungan Badui. Ketika aku melewati lorong-lorong rumah yang kumuh, aku melihat ada seorang gadis kecil manis sedang memainkan tanah dengan jari jemarinya.

Aku sapa dia, “Assalamuaalaikum, siapa namamu?” Belum sempat menjawab, tiba-tiba ibunya datang dari arah belakangku. Alangkah terkejutnya aku, ternyata ia seorang ibu muda yang berparas sangat cantik.

Tapi aku semakin terkejut lagi, ketika dari arah kejauhan kulihat wajah suaminya sangat buruk. Kuberanikan diri untuk menyapanya, “Apakah dia suamimu?” tanyaku agak heran.

“Ya, dia adalah suamiku yang sangat kucintai.”

“Kenapa engkau yang berparas sangat cantik ini mau dengan dia yang berparas sangat buruk?”

Si wanita cantik itu menjawab dengan tegas, “Dengarlah wahai Imam, sepertinya suamiku yang bermuka buruk itu adalah orang yang sangat baik di sisi Allah SWT, sehingga Allah menjadikan diriku sebagai pahala untuknya. Dan sepertinya aku adalah manusia yang kurang baik disisi Allah SWT, sehingga Allah menjadikan dia sebagai hukuman bagiku.”

Aku takjub dibuatnya. Ternyata di pedalaman Badui ini masih banyak orang yang berhati tulus seperti dia.

Sikap wanita cantik ini sangat ideal. Dia selalu bersikap positive thinking. Segala sesuatunya diukur dengan husnudzan (baik sangka) kepada Allah SWT. Dia tidak pernah mengeluh menhadapi kesulitan dan keburukan. Tidak pernah ada kata frustasi.

Dia yakin Allah SWT sangat sayang kepada hambaNya. Allah SWT sangat adil. Dia mengukur permasalahan dengan logika Alquran. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi itu lebih baik bagi kamu, dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu tapi ia (sebenarnya) buruk bagi kamu. Dan Allah SWT Maha mengetahui dan kamu tidak mengetahui. (QS Al Baqarah: 216).

Hidup di dunia bagaikan permainan dan senda gurau (QS Al Hadid:20). Wanita cantik ini tidak mau dipermainkan oleh ego jiwanya. Keindahan dunia itu sekejap, dan dia tidak mau terlena olehnya, apalagi sampai menjauh dari Allah SWT lantaran dunia.

Dia sangat bersyukur mendapat suami yang sangat baik dan taat kepada Allah SWT, meski logika manusia mengatakan dia buruk rupa. Ia selalu menghiasi hidupnya dengan baju qanaah, tawadlu, dan ikhlas menghadapi ujian dunia.

“Tidaklah musibah yang kalian dapatkan itu kecuali memang hasil dari tangan-tanganmu.” (QS As Syura:30). Karena itu dia memilih menyalahkan diri sendiri ketimbang menyalahkan orang lain. Sikap ini selalu mengontrol dirinya dari keangkuhan dan selalu menyalahkan.

Alangkah indahnya bila hidup ini sarat dengan logika Alquran seperti itu, apalagi di zaman sekarang yang penuh dengan masalah, musibah dan senda gurau lainnya.

(repost from: Fahmi Zubir)

KISAH SEDEKAH TUKANG TAMBAL BAN



Seorang Tukang tambal ban. Lima tahun yang lalu seringkali terkena obrakan, sebab lapaknya atau tempatnya berada di tepi jalan. Suatu ketika, di pagi hari, ada seorang temannya yang mampir ke tempatnya.

Ketika mereka asyik berbicara, tiba-tiba seorang pengemis berdiri meminta. Si Tukang tambal ban merasa terganggu dengan kehadiran pengemis tersebut. Dia menolaknya dan pengemis itupun berlalu. Demikian berturut-turut hingga ada beberapa pengemis yang selalu ditolaknya.

Kawannya bertanya. “Di sini banyak pengemis yang datang ya?”
“Wah, kalau dituruti, sehari bisa puluhan orang. Saya selalu menolak mereka. Buat apa mengajari orang malas.” Kata si Tukang tambal itu.

Kawannya diam sejenak. Lalu berbicara, “Kalau boleh menyatakan, sebaiknya jika ada pengemis jangan ditolak. Meskipun seratus perak. Berikanlah kepadanya!”

Si tukang tambal ban tersenyum kecut dan menanggapi dengan sikap dingin. “Pengemis sekarang bukanlah orang yang benar-benar miskin. Di daerahnya, mereka memiliki rumah besar, ternak banyak dan sawah luas. Mengemis dibuat sebagai mata pencaharian. Jika menuruti pengemis, bisa bangkrut aku.

Sedangkan sejak pagi tak satupun kendaraan yang berhenti untuk mengisi angin ataupun minta ditambal.”

Temannya berusaha menasehati dengan bijak, “Berpikir begitu boleh-boleh saja. Tetapi, saya tetap yakin bersedekah itu lebih bermanfaat dan menguntungkan diri sendiri. Aku menggemarkan diri bersedekah sudah beberapa tahun lalu.”

“Kamu berbicara begitu karena memang sudah pantas melakukan sedekah, sebab penghasilanmu besar, punya mobil dan rumah bagus. Sedangkan diriku!? hanyalah seorang tukang tambal ban, tidak lebih dan tidak kurang!”

“Aku dulu juga seperti dirimu. Kau tahu kan? Kehidupanku compang-camping. Sekarang makan, besok harus hutang ke tetangga. Tetapi, aku tidak pernah berhenti bersedekah. Maaf, ini bukan pamer ataupun membatidakan diri, tetapi maksudku berbagi pengalaman denganmu. Setiap ke masjid, aku selalu memasukan uang meskipun hanya recehan.

Setiap ada pengemis datang selalu kuberi jika memang masih ada uang, tetapi kalau lagi tidak ada, air minum saja juga sudah sangat senang. Itu kulakukan secara istiqomah, Dan sungguh, aku mengalami sebuah kejadian luar biasa.

Rezek sangat lancar, setiap ada rencana selalu berhasil, setiap transaksi selalu sukses, apa saja yang kulakukan selalu membawa berkah hingga kamu lihat sendiri seperti sekarang ini.” kata temannya itu menambahkan.

Si tukang tambal ban tidak segera menjawab. Dia tampaknya sedang berpikir. Temannya lalu berkata lagi, “Memberi sedekah tidak harus kepada pengemis, kamu bisa mengulurkan tanganmu kepada sanak saudara atau siapa saja, asalkan ikhlas.”

“Benar, dan sedekah yang lebih tinggi harganya ialah ketika dirimu dalam keadaan sempit. Jangan menunggu kaya baru bersedekah. Saat sekarang ini kamu harus memulainya.” begitu temannya dengan sangat bijak dan mengena memberikan saran.

Si tukang tambal ban mulai bisa menangkap makna memberi, dari kata-kata temannya tadi terutama kondisi dulu yang menyatakan kalau dirinya juga berawal dari orang yang tidak punya karena tidak punya pekerjaan tetap. Maka, dia pantas dipercaya karena keadaanya memang sudah mapan dibandingkan dengan dirinya.

Keesokan harinya si Tukang tambal ban mulai menyediakan uang recehan. Selama uang recehan masih ada, ia tidak pernah menolak pengemis yang datang. Kecuali, jika sudah habis jatahnya baru ia menolaknya, bahkan setiap pergi ke masjid dia tidak pernah melupakan sedekah ke kotak infaq.

Semenjak itu rezekinya lancar. Setiap hari sejak pagi hingga petang sambung menyambung motor yang berhenti minta ditambalkan ataupun sekedar mengisi angin. Bahkan dua keponakannya yang menganggur diajaknya membantu pekerjaan itu.

Sekarang si Tukang tambal ban telah memiliki tabungan. Dari tabungannya dia mampu menyewa tempat dan membangunnya, meskipun tidak permanen. Sehingga dia kini bisa bekerja dengan tenang karena tidak harus dikejar-kejar polisi pamong praja.

Seiring waktu, si Tukang tambal ban tidak hanya melayani jasa menambal atau mengisi angin. Tetapi, berkembang menjadi sebuah usaha ban kanisir. Bahkan, dia mempunyai puluhan pelanggan perusahaan jasa angkutan. Kalau dulu dia menerima uang recehan dari pelanggannya. Sekarang dia menerima cek dari perusahaan sebagai pembayaran ban kanisir. Anak buahnya semakin bertambah.

Keadaan hidup si tukang tambal ban telah mapan. Dia bisa membeli rumah dan mobil. Setiap tahun zakat malnya dibagikan di kampung halamannya untuk orang-orang miskin dan yatim piatu. Bahkan dia telah berangkat haji bersama istrinya.

Si Tukang tambal ban berhasil membuka tabir misteri keajaiban sedekah. Sekarang dia benar-benar percaya bahwa sedekah itu sangat memberikan manfaat yang luar biasa seperti saran temannya dulu yang diawalnya dia tanggapi dengan sikap dingin. SubhanAllah.

 

R324 | Copyright © 2011
Designed by Rinda's Templates | Picture by Wanpagu
Template by Blogger Platform